Minggu, 21 April 2013

Kepemimpinan Islam di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Islam. Islam telah melekat menjadi suatu hal yang mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan rakyat  di  Indonesia. Bahkan  Pancasila  sendiri merupakan suatu ideologi yang berusaha  mempertemukan prinsip Islam dengan   perjuangan persatuan Indonesia pada saat perumusannya. Terlepas dari perdebatan dalam banyak  literatur  sejarah  tentang kapan masuknya Islam ke Indonesia, pada saat ini Islam telah menjadi agama yang berinteraksi dengan berbagai   kebudayaan   daerah. Sejarah   Wali Songo  yang  mendakwahkan  Islam  di  tanah Jawa dan sekitarnya semakin memperjelas bahwa  Islam  dan  kepemimpinannya  mampu berakulturasi dengan berbagai budaya secara santun. Proses akulturasi antara Islam sebagai agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan dengan budaya di Indonesia saat awal kedatangannya     membuat     Islam     menjadi agama yang mampu diterima dengan mudah di  Indonesia.
 Bahkan  saat  ini  Indonesia  masih bertahan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam literatur sejarah, memang Indonesia tidak pernah   tercatat   melahirkan   pemimpin   Islam yang terdengar ke seluruh dunia. Sejarah sering mencatat kelahiran para pemimpin Islam dari Timur  Tengah.  Misalnya  saja  Imam  Khomeini yang berhasil mengadakan Revolusi Iran, dan penerusnya Ahmadinejad yang dengan kepribadian yang kuat berhasil mendapatkan banyak penghormatan dari dunia Internasional, selain kecaman yang juga dirasakannya.Namun jika kita  mengkajinya  lebih  dalam, kepemimpinan mereka dibentuk dari sebuah kultur yang homogen, sehingga dalam tataran dunia,  Imam  Khomeini  maupun  Ahmadinejad Kepemimpinan Islam di Indonesia belum mampu untuk mencari titik temu diantara negara-negara  Islam  apalagi  dengan  negara- negara non-muslim. Bahkan konflik yang meliputi Iran dengan tetangganya Irak membuat kepribadian pemimpinnya lebih condong pada pendekatan konflik dibandingkan pendekatan damai. Kenihilan sejarah tentang tidak penah terlahirnya pemimpin Islam yang mendunia dari Indonesia tidak menjadi argumen yang kuat bagi lahirnya pemimpin Islam dari Indonesia masa depan. Dengan realitas keberagaman yang mendidik pemimpin menjadi adil serta kondisi perpolitikan Indonesia yang bebas untuk menjadi tempat berinteraksi  berbagai ideologi,  prediksi mengenai  kepemimpinan  Islam  yang  berasal dari Indonesia menjadi semakin meyakinkan. Bahkan ulama besar tingkat dunia, DR. Yusuf Qordowi, dari jauh-jauh hari telah memberikan hipotesisnya bahwa kebangkitan Islam sebagai rahmat bagi semeta alam akan lahir dari Indonesia. Pembahasan tentang pemimpin Islam yang lahir lebih baik diberi judul kepemimpinan Islam. Hal ini dikarenakan Islam dan Indonesia memiliki sebuah kaidah moderat dalam mengkombinasikan adanya fenomena kultur individual dan kultur kolektif. Sehingga yang dibangun tidak hanya pemimpin secara individual, tetapi mampu melingkupi kepemimpinan  kolektif  yang merupakan creative minority bagi revolusi putih perubahan Indonesia bahkan dunia. Terlepas dari bentuk kepemimpinan Islam seperti apa yang dibangun Kepemimpinan Islam di Indonesia pada masa depan, kepemimpinan Islam yang dibangun di Indonesia memiliki tanggung jawab     membumikan  Islam  yang  menjadi  rahmat  bagi semesta alam. Sehingga sejarah kepemimpinan Islam pada jamanRasulullah    SAW    dan sahabatnya yang mampu membuat penduduk non-muslim   nyaman   dinaungi   kepemimpinan Islam  akan  berulang  dalam  konteks  kekinian, dimulai dari Indonesia.

























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kepemimpinan islam di indonesia
Secara formal, memasuki masa awal kemerdekaan Indonesia, kepemimpinan Islam masih memiliki peranan yang sangat kuat. Hal ini bisa kita buktikan dengan tercantumnya kalimat kewajiban menjalankan syariat Islam di dalam piagam Jakarta yang dengan keikhlasan hati demi menjaga ikatan persatuan nasional, para pemimpin Islam rela menghapus kalimat tersebut dari dasar Negara Republik Indonesia. Namun jika kita lihat mukaddimah UUD 1945 maupun pancasila sila pertama di dalamnya warna Islam sangatlah kental. Kepemimpinan Soekarno-Hatta mendapat legitimasi dari masyarakat Islam juga disebabkan faktor dukungan dari tokoh-tokoh Islam yang dengan setia memback-up perjuangan mereka dengan segala cara. Bukti lagi lain dari begitu berperannya umat Islam pada masa-masa awal berdirinya Indonesia adalah dengan mendirikannya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai wadah aspirasi politik Indonesia. Di bawah naungan MASYUMI bersatu seluruh golongan umat Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, PSI dan Petti. Selain itu banyak kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia pada awal masuknya Islam di Indonesia yang diawali dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai.
Sedangkan secara non formal, umat Islam di Indonesia masih memandang sosok ulama’ di Indonesia sebagai pemimpin-pemimpin nonformal dengan wilayah kepemimpinan yang bahkan melebihi pemimpin formal itu sendiri. Pada zaman revolusi kemerdekaan peran ulama’ sebagai pemimpin informal dalam mengarahkan proses perjuangan teramat kuat. Bahkan 99% perjuangan perjuangan yang dikobarkan di seluruh tanah air adalah perjuangan yang dipimpin oleh para ulama’ yang berjuang dengan keikhlasan hati. Contohnya pada zaman wali songo.
Sejarah Wali Songo yang mendakwahkan Islam di tanah Jawa dan sekitarnya semakin memperjelas bahwa Islam dan kepemimpinannya mampu berakulturasi dengan berbagai budaya secara santun. Proses akulturasi antara Islam sebagai agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan dengan budaya di Indonesia saat awal kedatangannya membuat Islam menjadi agama yang mampu diterima dengan mudah di Indonesia. Bahkan saat ini Indonesia masih bertahan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.  Dalam mewujudkan kepemimpinan Islam di Indonesia dengan terang-terang menyebutkan “negara Indonesia adalah berkepemimpinan islam” tentu akan sangat sulit dilakukan. Terlebih jika harus merubah ideologi Pancasila yang ada pada saat ini dengan Ideologi Islam secara cepat dan memaksa. Lebih baik yang dilakukan umat islam di Indonesia adalah dengan menerapkan substansinya saja tanpa harus mengubah nama kepemimpinan itu sendiri. Perwujudan kepemimpinan islam di Indonesia tidak harus dalam bentuk sebuah negara, sehingga mengakibatkan konfrontasi dengan negara yang sudah ada. Bentuk kepemimpinan islam bisa saja diwujudkan dengan bentuk masyarakat yang mengamalakan dan mematuhi hukum-hukum dan aturan islam secara menyeluruh.  Kepemimpinan islam dengan wujud masyarakatnya yang Islami akan lebih mungkin untuk dikembangkan di Indonesia dan mudah untuk ditiru di negara-negara lainnya. Bentuk kepemimpinan seperti ini harus diawali oleh bagian terkecil dari sebuah masyarakat, yaitu manusia itu sendiri secara pribadi. Jika sudah tercipta individu-individu yang memiliki kepemimpinan islam maka dengan suatu ikatan perkawinan antar individu tersebut (laki-laki dan perempuan) maka akan tercipta keluarga yang berkepemimpinan islam, dan selanjutnya akan tercipta masyarakat yang islami, dan pada tingkatan yang lebih tinggi lagi akan lahir sebuah negara yang masyarakatnya memegang teguh kepemimpinan islam.  Itulah kepemimpinan islam, dibangun dengan cara-cara yang ma’ruf (benar) dan dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.
B.     Gus Dur Sebagai Tokoh Pemimpin Islam Di Indonesia
1.                  Biografi
Beliau lahir di Jombang, dari pasangan K.H Wahid Hasyim dan Hj. Sholechah Wahid Hasyim, tepatnya pada tanggal 7 Agustus 1940. Kakeknya bernama K.H Hasyim Asyhari, yaitu pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Dalam perjalanan hidupnya beliau menikah dengan sinta nuriyah pada 11 september 1971 dan dikaruniai 4 anak perempuan.
Riwayat pendidikan:
·      SD, Jakarta (1953)
·      SMEP, Yogyakarta (1956)
·      Pesantren tambak beras jombang (1963)
·      Departement of higher islamic and arabic studies, universitas al azhar kairo, mesir (tidak tamat)
·      Fakultas sastra universitas baghdad irak

            Perjalanan karier
·      Guru madrasah mu’alimat jombang (1959-1963)
·      Dosen universitas hasyim asyhari, jombang (1972-1974)
·      Dekan fakultas ushuluddin unioversitas hasyim asyhari, jombang (1972-1974)
·      Sekertariss pesantren tebu ireng, jombang (1974-1979)
·      Pengasuh pondok pesantren ciganjur, jakarta (sejak 1976)
·      Ketua tanfidziyah pengurus besar NU/PBNU (1984-2005)
·      MPR dari utusan golongan (1987-1992, 1999-2004)
·      Presiden RI (20 oktober 1999-23 juli 2010)
·      Ketua umum dewan syura PKB (2000-2005)
·      Ketua umum dewan syura PKB hasil muktamar II, semarang 92005-201
Tipe kepemimpinan Gus Dur
Dari gayanya Gus Dur yang easy going, sangat optimis namun ceplas-ceplos saat di tanya wartawan, dan seolah “mengampangkan” semua persoalan-persoalan dengan ciri khasnya “gitu aja kok repot?” terlihat bahwa dia adalah tipe Influence/sanguinis. Humanismenya (sisi kemanusiaannya) baik sekali, terbukti dari di resmikannya agama ke-6 di negri ini. Namun sikap (maaf) “sembrononya” juga terlihat dari sikapnya yang sering tertidur saat rapat kabinet ataupun keinginannya untuk manjalin hubungan diplomatik dengan israel.. Dan efek dari sifat sembrono (walaupun jago mempengaruhi orang, influence juga mudah percaya dengan orang) si Influence ini dengan mudah dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya, hal ini mengakibatkan Gus Dur turun dari kursi kepresidenannya sebelum akhir masa pemerintahannya. Disisi lain beliau juga seorang yang pemarah , ia kerapkali menggebrak meja saat anak buahnya tidak menuruti keinginannya. Di depan beliau anak buah seakan takut, namun di belakang beliau sangat lah berbeda. Ini lah kekurangan lain dari sang influence, yaitu kurang waspada dan kurang strategi saat menghadapi musuh-musuh yang tersembunyi. Jadi dapat dikatakan bahwa, Gus Dur memliki tipe kepemimpinan Influence-Dominance.
Tipe Influence (mempengaruhi): Ciri-ciri tipe ini yang mudah terlihat adalah terlihat supel. Tipe ini memiliki rasa humanisme dan humor yang bagus. Sangat optimis dalam menghadapi masalah. Sangat bersemangat, enjoy the life , dan spontanitas. Namun kejelekan tipe ini kurang teliti, kurang waspada terhadap musuh, cenderung malas. Biasanya di dunia psikologi tipe ini disebut dengan sanguinis.
Tipe Dominance (dominan) atau biasa dalam ilmu psikologi disebut dengan korelis. Tipe ini adalah seorang tipe yang dominan, keras kepala dan mungkin agak galak, intinya tipe ini adalah tipe yang drive atau penyetir.
C.      Keunikan-keunikan Gus Dur sebagai seorang pemimpin terlihat sebagai berikut:
1.    Gus Dur memiliki wacana religio-kultural yang dalam dan kuat dalam banyak hal yang tidak tampak tetapi mendasari semua tindakannya dalam mengimplementasikan peran-perannya. Hal ini disebabkan Gus Dur menguasai nilai-nilai agama dan budaya lokal, filosofis dan dasar-dasar ideologis. Pemanfaatan terhadap dasar-dasar ideologis atau dan sistem keyakinan yang memicu secara positif dapat memunculkan dukungan masyarakat dan terelemenasinya konflik budaya dan keagamaan.
2.    Gus Dur juga memiliki kharisma/daya tarik yang luar biasa sehingga mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar. Yang menarik, para pengikut Gus Dur kadang tidak mempersoalkan nilai-nilai yang dianut, sikap dan perilaku serta gaya Gus Dur. Bisa saja kharismatik Gus Dur ini menggunakan gaya yang otokratik atau diktatorial, namun para pengikutnya tetap setia kepadanya.
3.    Gus Dur secara inspirasional menunjukan kualitas personal yang mempesona yang dicirikan dengan sifat proaktif, kolaboratif, humanis, yang kesemuanya diorientasikan pada konsep keteladanan. Artikulasi Jawa tentang Gus Dur sebagai pemahaman “digugu lan ditiru” menjadi faktor determinan bagi tampilnya peran kepemimpinan yang membangkitkan semangat dan menjadi inspirasi, Setidak-tidaknya seorang pemimpin yang inspiratif senantiasa memiliki gagasan-gagasan brilian, kreatif, inovatif yang mampu mencari jalan keluar bagi semua permasalahan bangsa.
4.    Gaya kepemimpinan Gus Dur cenderung nyleneh serta merupakan seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan. Gayanya yang lain adalah suka melemparkan gagasan yang sangat kontroversral tapi walaupun demikian daya tarik kharismanya tidak pudar. Terutama kalangan warga nahdliyin, mereka tetap menghormati dan mengakui kepemimpinannya.
tipe kepemimpinan  tidak monolitik, tetapi bervariasi sangat situasional. Suatu ketika beliau cenderung dcmokratis, pada saat yang lain beliau bisa ccnderung otokratik bahkan bisa sangat kharismatik.
D.      Gus dur sebagai bapak tionghoa
          Sebelum ke presidenan Gus Dur masyarakat etnis Tionghoa mendapat banyak diskriminasi, seperti masa Orde Lama terlihat pada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang berisi larangan pada masyarakat Tionghoa melakuan perdagangan eceran di pedesaan dan masa Orde Baru melalui Inspres No. 14 Tahun 1967 yang melarang semua bentuk ekspresi keagamaan etnis Tionghoa di depan umum. Namun saat Gus Dur menjabat presiden,  ia mencabut Inpres  No. 14 Tahun 1967 dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000 dan penetapan Hari Imlek sebagai hari libur Nasional seperti hari raya agama-agama lain yang ada di Indonesia.
Sejak saat itulah, etnis Tionghoa yang ada di Indonesia mendapat kebebasan yang sama seperti entis-etnis lain yang ada di Indonesia. Mereka dapat melakukan kegiatan kegaamaan secara bebas, di mana saat sebelumnya mereka sangat terkekang, bahkan agama Konghucu menjadi agama resmi yang diakui negara. Sehingga kegiatan keagamaan mereka mendapat perlindungan resmi dari pihak keamanan negara. Usaha yang dilakukan Gus Dur, tentu tidak lepas dari prinsip universalitas Gur Dur tentang pluralisme beragama, meskipun ia seorang muslim sejati, pandangan kegamaannya sangat berbeda dengan banyak tokoh Islam yang ada di Indonesia. Ia memandang Islam sebagai agama yang penuh kedamaian dan mengedepankan kasih sayang kepada semua manusia, dari lintas agama, etnis, suku dan budaya.
Perjuangan Gus Dur dalam penghapusan diskriminasi yang dilakukan kepada etnis Tionghoa, untuk mendapatkan persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia, baik dalam bidang kegamaan, ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan sosial. Perjuangan tersebut dilakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000. Dengan demikian etnis Tionghoa dapat hidup dan bergaul dengan bebas seperti entis lain yang ada di Indonesia.
Sisi pengakuan keyakinan dan tradisi. Melalui Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000 pulalah, agama dan budaya etnis Tionghoa mendapat pengakuan sebagai bagian dari agama dan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Di mana saat sebelum kepemimpinan Gus Dur, terutama masa Orde Baru, etnis Tionghoa mengalami “kegalauan batin” sebab mereka dilarang menganut agama Konghucu yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka dan secara terpaksa etnis Tionghoa memeluk agama lain yang diakui negara. Selian itu, kebudayaan etnis Tionghoa seperti Lion ataupun Barongsai semakin marak di lakukan di berbagai tempat, hingga menyentuh pedesaan. Hal tersebut semakin memperjelas jasa Gus Dur terhadap etnis Tionghoa, dengan diakuinya budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

          Gus Dur dikenal begitu dekat dengan kelompok etnis Tionghoa, baik mereka (kelompok keturunan Tionghoa) yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu. Kedekatan Gus Dur pada etnis Tionghoa tentu menjadi teladan dan penegasan bagi kelompoknya secara khusus, dan masyarakat Indonesia secara umum, bahwa sebagai figur umat Islam atau tokoh bangsa, Gus Dur menjalin hubungan dekat dengan kelompok etnis Tionghoa, sesuatu yang aneh di masa Orde Lama dan Orde Baru. Secara tegas Gus Dur menggambarkan, bahwa kedekatan yang harmonis dengan siapapun, termasuk etnis Tionghoa akan menghasilkan kedamaian dan kemajuan yang bisa dinikmati bersama.
Gus Dur pernah menyatakan bahwa dirinya adalah keturunan dari Tan Kim Ham. Meskipun ada sebagian masyarakat etnis Tionghoa yang mengklaim pernyataan Gus Dur hanya bahasa politis untuk mendapat dukungan dari penguasaha Indonesia dalam memajukan prekonomian Indonesia. Penobatan Gus Dur sebagai bapak Tionghoa lebih karena jasa-jasa Gus Dur dalam mengangkat harkat dan martabat entis tionghoa Indonesia sebagai bagian dari warga Indonesia, sehingga setara dengan etnis-etnis lain yang ada di Indonesia. Gus Dur ibaratnya seperti pahlawan, yang memerdekakan entis Tionghoa Indonsia dari berbagai penjajahan yang dilakukan Orde Lama dan Orde Baru.

1 komentar: