BAB I
PENDAHULUAN
Muhammadiyah
adalah gerakan modernis Islam yang paling berpengaruh di Indonesia. Menurut
sejarawan organisasi ini berdiri pada tanggal 18 November 1912 oleh K. H. Ahmad
Dahlan. Kiprah Muhammadiyah yang lebih akrab dikenal dengan kegiatan amal usaha
dan dakwah tersebut, harus diakui memiliki andil yang cukup besar dalam
memajukan dunia keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesejahteraan
masyarakat dan lain – lain di Indonesia. Bahkan meski, organisasi ini tidak
pernah mendeklarasikan diri sebagai sebagai organisasi yang memiliki afiliasi
politik tertentu, namun Muhammadiyah melalui kader –kader terbaiknya telah
meramaikan percaturan politik di tanah air.
Muhammadiyah
sebagai organisasi tajdid, terus – menerus melakukan dakwah Islam, amar makruf
nahi munkar dalam berbagai bentuknya, dan dituntut oleh umat untuk melakukan
pembaharuan – pembaharuan dalam berbagai sektor kehidupan. Untuk itulah
Muhammadiyah membutuhka metode baru dalam berdakwah yang dapat mengatasi
berbagai macam tantangan dakwah di masa depan, yaitu dengan mengembangkan
metode dakwah kutural. Sebenarnya dakwah kultural sudah dilakukan oleh K. H.
Ahmad Dahlan dengan menunjukkan sikap akomodatifnya terhadap tradisi Jawanisme.
Hanya saja metode kultural yang selalu dikedepankan oleh K. H. Ahmad Dahlan
tersebut lambat laun semakin surut.sekilas nampak adanya keterputusasaan
sejarah antara generasi awal Muhammadiyah dengan apa yang terjadi saat
sekarang. Oleh karena itu dalam menghadapi era globalisasi, perlu kiranya
Muhammadiyah mengembangkan metode dakwah kultural yang lebih baik lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Profil Muhammadiyah
1.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan
pada tanggal 18 November 1912 / 3 Dzulhjjah 1330 H di kampung Kauman,
Yogyakarta. Pada saat itu keadaan masyarakat Islam sangat menyedihkan, baik
dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun kultural akibat penjajahan Belanda
di Indonesia. Dalam bidang agama, kehidupan beragama menurut tuntunan al-Qur’an
dan Hadis tidak berjalan karena adanya perbuatan syirik, bid’ah, kurafat dan
takhayul, sehingga umat Islam dalam keadaan beku ( jumud ). Di bidang
pendidikan, lembaga pendidikan Islam yang ada tidak dapat memenuhi tuntutan dan
kemajuan zaman, disebabkan sikap mengisolasi diri dari pengaruh luar serta
adanya sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.[1]
K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah
telah memberi contoh bagaimana cara berdakwah dan beramal di tengah masyarakat
dengan mempelopori berdirinya sekolah dengan sistem modern, baik sekolah agama
maupun sekolah umum serta mendirikan rumah yatim dan poliklinik. Sebagai
gerakan tajdid, Muhammadiyah mendapat tantangan besar dari masyarakat
sekitarnya karena K.H. Ahmad Dahlan dianggap telah mempelopori usaha
pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam yang tidak sesuai dengan yang dipraktekan
oleh masyarakat pada waktu itu. Akan tetapi K.H. Ahmad dahlan tidak pernah
berputus asa menghadapi berbagai tantangan tersebut. Berkat ketabahan,
ketekunan, keuletan, dan keikhlasan beliau dan penerusnya, Muhammadiyah terus
tumbuh dan berkembang sampai sekarang.[2]
2. Identitas
Muhammadiyah
Muhammadiyah
adalah suatu organisasi yang anggotanya adalah pengikut dan penerus risalah
Nabi Muhammad. Yang mendorong berdirinya Muhammadiyah ialah perintah Allah SWT
dalam al Quran yang artinya “ Hendaklah ada diantara kamu umat yang menyeru
kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar, dan
mereka itulah yang berbahagia “ ( Q.S. Al Imran : 104 ). Sedangkan identitas
Muhammadiyah tercantum dalam Anggaran Dasar pasal 1 ayat 1 yaitu “
persyarikatan ini bernama Muhammadiyah, adalah gerakan Islam dan dakwah amar
makruf nahi munkar, beraqidah Islam, dan bersumber pada al Quran dan Sunnah “.
Muhammadiyah merupakan gerakan modernis Islam yang paling berpengaruh di
Indonesia dan lebih hati – hati serta lentur dalam menghadapi gelombang
perubahan politik. Sedangkan maksud dan tujuan Muhammadiyah tercantum dalam
pada pasal 3 Anggaran Dasar yaitu “ Menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah
SWT.[3]
Sedangkan
untuk kantor pimpinan pusat Muhammadiyah ada 2 yaitu di Yogyakarta dan Jakarta.
3.
Susunan Organisasi
Susunan organisasi Muhammadiyah
berbentuk piramida yaitu dari bawah ke atas. Proses pertumbuhan dan susunan
organisasi Muhammadiyah adalah :
-
Ranting ( tingkat desa / kelurahan
)
Dibentuk dan disahkan bila
mempunyai anggota minimal 15 orang dan mempunyai salah satu amal usaha seperti
sekolah, masjid, rumah yatim, poliklinik atau amal usaha lainnya.
-
Cabang ( tingkat kecamatan )
Cabang dapat dibentuk jika terdapat
minimal tiga ranting, serta harus mempunyai amal usaha.
-
Daerah
-
Wilayah
-
Pimpinan Pusat
Pimpinan pusat
dalam menjalankan tugasnya dibantu Majelis. Majelis terdapat pada Pimpinan
Pusat, Wilayah, dan Daerah. Sedangkan Majelis di tingkat Cabang dan Ranting
dinamakan Bagian. Disamping Majelis terdapat pula Badan Pelaksana lainnya
seperti Biro, Badan, Lembaga dan Yayasan.
Ranting dan
cabang merupakan tulang punggung dari Muhammadiyah karena prakarsa pembuatan
cabang dan ranting benar - benar berasal dari “bawah”, murni merupakan swadaya
dan inisiatif masyarakat setempat bukan intruksi dari atas. Pimpinan pusat
hanya sekedar mresmikan. Oleh karena itu rasa memiliki terhadap organisasi di
tingkat ranting dan cabang cukup tinggi.[4]
4.
Organisasi Otonom
Organisasi otonom Muhammadiyah
dapat digolongkan menjadi organisasi pendamping dan organisasi kader. Yang
dimaksud organisasi pendamping adalah ‘Aisyiyah ( wanita ) yang bahu – membahu
dengan Muhammadiyah dalam mencapai cita - cita organisasi. Sedangkan organisasi
kader inilah yang akan menlanjutkan perjuangan Muhammadiyah di masa depan.
Organisai otonom tersebut adalah :
a.
‘Aisyiyah ( wanita )
b.
Pemuda Muhammadiyah
c.
Nasyiatul Aisyiyah ( puteri )
d.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ( IMM
)
e.
Ikatan Remaja Muhammadiyah ( IRM )
f.
Tapak Suci Putera Muhammadiyah (
perguruan pencak silat )[5]
5.
Amal Usaha
Amal usaha Muhammadiyah mempunyai peranan
penting dalam gerakan dakwah Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid untuk
mewujudkan cita – citanya dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Amal usaha
menjadi salah satu syarat berdirinya Ranting atau Cabang, maka warga
Muhammadiyah setempat berusaha sekuat tenaga untuk mendirikan amal usaha
menurut kemampuan masing – masing. Diantara amal usahanya antara lain sekolah
dari TK sampai Perguruan Tinggi, poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit, rumah
yatim, panti jompo, masjid, balai pertemuan, dll. Setiap amal usaha
Muhammadiyah diberi nama Muhammadiyah, sedangkan amal usaha yang dikelola oleh
‘Aisyiyah diberi nama ‘Aisyiyah. Kecuali masjid dan salah satu rumah sakit yang
bernama Rumah Sakit Islam Jakarta ( RSIJ )
Berikut ini adalah data Amal Usaha Muhammadiyah [6]:
No
|
Jenis Amal Usaha
|
Jumlah
|
1
|
TK/TPQ
|
4.623
|
2
|
Sekolah Dasar (SD)/MI
|
2.604
|
3
|
Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs
|
1.772
|
4
|
Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA
|
1.143
|
5
|
Pondok Pesantren
|
67
|
6
|
Jumlah total Perguruan tinggi Muhammadiyah
|
172
|
7
|
Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP, dll
|
457
|
8
|
Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga, dll.
|
318
|
9
|
Panti jompo
|
54
|
10
|
Rehabilitasi Cacat
|
82
|
11
|
Sekolah Luar Biasa (SLB)
|
71
|
12
|
Masjid
|
6.118
|
13
|
Musholla
|
5.080
|
14
|
Tanah
|
20.9 20.945.504 M2
|
Untuk mekanismenya, di tingkat
Ranting mendirikan TK sampai SD, Cabang mendirikan SMP dan SMA / SMK / MA,
sedangkan untuk wilayah mendirikan Perguruan Tinggi. Tetapi dalam kenyataannya
beberapa Ranting juga mendirikan SMP bahkan SMA dan beberapa Daerah pun
mendirikan Perguruan Tinggi.
Selama ini dalam prakteknya Ranting
dan Cabang dalam satu Daerah berkembang menurut inisiatif dan kemampuan masing
– masing. Sehingga ada Ranting atau Cabang yang amal usahanya kuat ataupun
lemah. Dalam rangka pemerataan, maka adanya sentralisasi keuangan dalam satu
daerah. Ranting, Cabang, Daerah, Wilayah diberi kebebasan atau desentralisasi
untuk membangun dan membina amal usaha sebnyak – banyaknya, tetapi dalam hal
kepemilikan tanah harus atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
B.
Gerakan – gerakan Muhammadiyah
1.
Gerakan Islam
Sebagai suatu gerakan Islam,
Muhammadiyah mendasari gerakannya kepada sumber pokok ajaran Islam, yaitu al
Qur’an dan as-Sunnah. Sekalipun tidak anti mazhab, namun Muhammadiyah tidak
mengikatkan dirinya pada salah satu
mazhab. Sehingga bisa dikatakan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam non Mazhab.
Dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam Muhammadiyah mengembangkan sikap tajdid
dan ijtihad, serta menjauhi sikap taqlid. Seperti yang telah kita
ketahui bahwa dulu kebanyakan Muslim Indonesia di Jawa dan daerah – daerah
lainnya mencampur ajaran – ajaran Islam dengan kepercayaan – kepercayaan yang
bersifat Animisme, Hindu, Budhis, dan mistik. Dalam perjalanan sejarah semua
unsur ini menjadi satu dan membentuk Muslim Jawa, dimana sangat sulit untuk
membedakan antara ajaran – ajaran Islam dan ajaran – ajaran lain.[7]
Kebangkitan Muhammadiyah ini sebagai usaha memperbaharui pengertian kaum
muslimin tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan
mengenalkan kembali ajaran Islam sejati sesuai dengan dasar al-Qur’an dan
as-Sunnah melalui dakwah Islam Amar Makruf Nahi Munkar.
2.
Gerakan Tajdid
Sifat Tajdid yang dikenakan pada
gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan
ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga
termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara
pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara
penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak
yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan
rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurban dan sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya
maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification)
dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam
hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka
Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.
Gerakan tajdid ini sebagai gerakan modernis memiliki empat ciri yaitu :
-
Terorganisasi secara sistematis
-
Bersifat rasional
-
Bersifat inklusif yaitu selalu
membuka diri seluas – luasnya untuk perbaikan – perbaikan ke depan.
-
Tidak bermazhab, Muhammadiyah tdak
pernah mengklaim bermazhab Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki.[8]
3.
Gerakan Ilmu
Muhammadiyah dalam mempertahankan
posisinya sebagai gerakan tajdid yaitu dengan menampilkan dirinya sebagai
gerakan ilmu. Hal ini dapat dilihat dari amal usahanya yang sudah kondang
dimana – mana bahkan berkembang pesat sampai sekarang khususnya di bidang
pendidikan. Muhammadiyah mempunyai peran yang cukup penting dalam dunia Islam
untuk ikut serta mengubah kecenderungan global dan mengatasi masalah sosial –
keagamaan yang semakin kompleks. Selama ini, iman dan amal telah menyatu dengan
Muhammadiyah. Akan tetapi ilmu dalam arti yang luas belum begitu terasa
menggelombang dalam gerak Muhammadiyah. Gerakan keilmuan sungguh sangat
mendesak untuk dilakukan Muhammadiyah jika masih tetap mengurung diri dalam
budaya kampung dengan Dengan meningkatkan bekal ilmu, segala amal usaha akan
dapat direncanakan dan selanjutnya dapat dikelola secara efisien, tepat dan
ekonomis.[9]
C.
Dakwah Multikultural Muhammadiyah
Dakwah multikultural sebagai suatu pendekatan dan strategi dakwah
dalam konsep aktualisasi ajaran Islam di tengah dinamika kebudayaan dan
perubahan sosial dalam suatu masyarakat, diajalankan secara bertahap sesuai
dengan kondisi empirik yang diarahkan untuk menumbuh – kembangkan kehidupan
Islami sesuai dengan paham Muhammadiyah. Dalam hal ini dakwah kultural lebih
memposisikan kebudayaan lokal sebagai medium untuk memperkenalkan ajaran –
ajaran Islam secara murni melalui proses yang berkelanjutan. Persyarikatan
selama ini cenderung diasumsikan tidak apresiatif terhadap lokalitas hanya
disebabkan karena pendekatan Muhammadiyah yang sangat normatif ( tekstualis ).
Realitas sosial yang sangat lekat dengan pluralitas budaya dipaksa harus
senafas dengan ajaran – ajaran normatif, sehingga tradisi lokal yang tidak
sesuai dengan Muhammadiyah harus diberantas. Dengan demikian, kehadiran dakwah
kultural telah merubah bentuk – bentuk pendekatan Muhammadiyah yang cenderung
normatif ke arah kontekstual dan peka terhadap realitas ( lokalitas ).[10]
Muhammadiyah wajib menyikapinya secara arif dan bijaksana agar mampu
menampilkan wajah Islam yang ramah dan santun terhadap lokalitas.
Muhammadiyah dalam aktivitas
dakwahnya melalui pendekatan islam kutural, yaitu islam yang mewujudkan dirinya
secara substantif dalam lembaga – lembaga kebudayaan, pendidikan dan peradaban
Islam lainnya. Atau dengan kata lain Islam Kutural adalah Islam Dakwah, Islam
Pendidikan, Islam seni, dan lain se bagainya yang tidak ada hubungannya dengan
politik dan kekuasaan.[11]
Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah dan seluruh unsur pembantu
pimpinan yang ada sesungguhnya memiliki tanggung jawab untuk selalu melakukan
dakwah. Adanya tanggung jawab bersama bagi segenap pimpinan Muhammadiyah dapat
dipahami bahwa tugas dakwah persyarikatan bukan hanya terletak pada Majelis
Tabligh dan Dakwah Khusus ( MTDK ). Dalam hal ini MTDK hanyalah leading sector
dalam mengimplementasikan dakwah Muhammadiyah secara lebih spesifik berupa
penyusunan perencanaan, tahapan – tahapan, strategi serta mapping peta dakwah.[12]
1.
Dakwah Kultural Sebagai Metode
Berdasarkan sidang Tanwir di
Denpasar tahun 2002, sejak saat itu Muhammaadiyah mencoba melirik kultur lokal
sebagai medium dakwah. Jika selama ini Muhammadiyah menggunakan pendekatan
purifikasi, maka Muhammadiyah mencoba membangun paradigma baru dalam hal
purifikasi yaitu metode baru yang jauh toleran dengan memanfaatkan kultur
lokal. Selama ini logis dakwah Muhammadiyah selalu menekankan pada segi hasil,
sehingga persyarikatan Muhammadiyah lebih dipandang sebagai sebuah gerakan
fundamentalisme karena mudah memberikan justifikasi terhadap beberapa persoalan
budaya lokal. Oleh karena itu, Muhammadiyah sangat membutuhkan metode dakwah
kultural dalam rangka memasuki wilayah – wilayah kultural. Dakwah kultural
Muhammadiyah tetap konsisten dengan gerakan purifikasi, hanya saja terdapat
sejumlah perangkat metedologis yang perlu dibenahi yaitu berupa cara pandang (
paradigma ), sikap inklusif, dan wasilah yang selama ini terabaikan. Dalam
prakteknya, dakwah kultural membutuhkan beberapa tahapan khusus yang meliputi :
-
Pengenalan kondisi sosio-kultural suatu
daerah
Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan
berbagai macam informasi seputar paradigma, tradisi serta pemahaman keagamaan
masyarakat setempat apakah masih sesuai dengan rambu – rambu ajaran Islam atau
tidak. Dalam hal ini. Seorang da’i diharapkan mampu menguasai perangkat
disiplin ilmu sosiologi dan antropologi.
-
Pemahaman kondisi psikologis
masyarakat.
Seorang da’i diharapkan dapat
secara mudah beradaptasi dengan sistem sosial yang berkembang di lingkungannya
berada. Dapat memahami kondisi psikologis masyarakat untuk menghadapi dan menyelesaikan
persoalan masyarakat.
-
Langkah – langkah strategis.
Seorang da’i perlu menyusun
sistematika dalam berdakwah dengan mengatur rentang waktunya secara simultan (
bertahap ). Dalam tahap ini, seorang da’i merupakan figur yang telah teruji
dalam segi kecermatan, kesabaran, dan kuletannya.
-
Metode penyampaian yang tepat dan
akurat.
Pelaksannan dakwah kultural dengan
medium lokalitas, namun orientasi purifikasi tetap menjadi tujuan utama yang
diharapkan berjalan sesuai dengan sasaran.
Contoh konkretnya adalah seorang
da’i dapat mengambil contoh tentang bentuk budaya setempat seperti wayang. Da’i
harus mengetahui benar seluk-beluk budaya tersebut dan letak signifikasi wayang
dengan ajaran – ajaran Islam.[13]
2.
Strategi dakwah
Gerak langkah Muhammadiyah sebagai
gerakan kultural tercermin dalam empat karakter yang selanjutnya dapat
dipandang dan sekaligus menjadi strategi perjuangan dakwah Muhammadiyah,
diantaranya :
·
Dimensi ijtihad dan tajdid yang
berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah.
·
Aktualisasi cita – cita perjuangan
melalui organisasi.
·
Karakter Muhammadiyah yang
cenderung anti kemapanan terhadap lembaga keagamaan yang bersifat kaku dengan
memusatkan pemikiran keagamaannya pada wilayah praksisi sosial.
·
Muhammadiyah selalu adaptif
terhadap segala tuntutan perubahan zaman.
Strategi dakwah yang dilakukan
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan islam modern melalui berbagai bidang,
yaitu :
o
Bidang Teologi
Muhammadiyah bekerja keras dalam
membebaskan umat muslim dari belenggu praktik pengamalan keagamaan yang
tercampur baur dengan TBC, menuju amal peribadatan Islam yang murni sesuai
tuntunan al-da
o
Bidang Pendidikan
Muhmmadiyah telah berusaha untuk
mencerahkan umat melalui pendirian sekolah – sekolah dari TK sampai Perguruan
Tinggi.
o
Bidang Sosial
Gejala kemisikinan yang merupakan
problem kehidupan sosial yang dapat mengakibatkan munculnya kesenjangan sosial
merupakan problem dakwah yang seharusnya memperoleh prioritas untuk mengatasinya.
Sehingga strategi yang dikembangkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dengan
mendirikan panti asuhan anak yatim, dan orang jompo.[14]
o
Bidang Kesehatan
Melalui pendirian rumah sakit,
poliklinik, dan balai pengobatan lainnya.
o
Bidang Seni
Melalui seni musik seperti lagu –
lagu / nyanyian dan nada – nada bernuansa religi diiringi kandungan pesan
dakwah pada syairnya. Pengaruh musik sangatlah besar bagi kehidupan masyarakat
sebagai media dakwah yang efektif.
o
Bidang multimedia
Yang menjadi unik dari dakwah kultural
Muhammadiyah sebagai organisasi yang menjadi pelopor dalam pemanfaatan
multimedia sebagai media dakwah yaitu dengan adanya program Dakwah Seluler.
Dakwah seluler merupakan program pengiriman SMS dakwah yang berisi terjemahan
al Qur’an, Hadits, dan kata hikmah yang diterbitkan oleh Majelis Tabligh dan
Dakwqh Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Keunggulan dakwah seluler ini
adalah :
§ Dapat diakses
dimana saja dan setiap saat
§ Bersifat
interaktif antara objek dan subjek
§ Dapat
dinikmati oleh kalangan atas.[15]
D.
Tantangan Muhammadiyah
Beberapa
tantangan Muhammadiyah di masa yang akan datang diantaranya :
a.
Dalam hal kepemimipinan,
Muhammadiyah makin dituntut lebih efisien, profesional, dan terbuka pada
perubahan ke arah yang lebih baik, sehingga kepemimipinan memberi dukungan
positif secara optinal bagi dinamika gerakan.
b.
Dalam bidang pendidikan, yang
menjadi andalan Muhammadiyahdan merupakan aset yang strategis yang belum
disamai ole organisasi Islam lainnya di negeri ini, terdapat agenda penting
perlu mendapat prioritas lebih.
c.
Dalam pelayanan sosial dan
kesejahteraan umat, dituntut untuk lebih artikulatif dalam menyantuni kelompok
masyarakat yang dhua’fa dan mustadh’afin ( yang lemah dan tertindas ).
d.
Dalam aspek kehidupan politik
nasional, Muhammadiyah sebagai kekuatan bangsa dtuntut perannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
e.
Dalam kehidupan ekonomi, dituntut
untuk aktif mengambil peran dalam pemberdayaan ekonomi umat Islam.
f.
Dalam bidang pemikiran, dituntut
untuk memberikan kontribusi pemikiran yang bersifat alternatif bagi kehidupan
umat dan bangsa di tengah lalu lintas
alam pikiran yang pusparagam saat ini.[16]
Dalam
menghadapi tantangan dakwah di masa depan, Muhammadiyah harus melakukan
beberapa cara agar tetap bertahan pada era globalisasi, diantaranya :
ü Mendayagunakan
infrastruktur pendidikan Muhammadiyah yang jumlahnya lumayan banyak secara
optimal agar lebih berkualitas dan menjangkau masyarakat.
ü Untuk
menghadapi perlombaan budaya Muhammadiyah akan kesulitan untuk mengikutinya
sebab budaya Muhammadiyah nyaris tidak ada, cenderung mengandalkan permainan
orang per orang, tokoh per tokoh, tidak bermain dalam jaringan yang rapi dan
terprogram. Untuk itu semua warga Muhammadiyah harus lebih kompak bersama kader
– kadernya.
ü Memperbanyak
warga, pimpinan, dan simpatisan Muhammadiyah untuk menguasai Usaha Kecil
Menengah dalam rangka memperbaiki perekonomiannya.
ü Peningkatan
kaderisasi dan kualitas serta peran kader Muhammadiyah secara optimal[17]
BAB III
PENUTUP
Perkembangan Muhammadiyah sampai sekarang cukup menggembirakan, hal
ini dapat dilihat dari amal usahanya yang semakin banyak. Muhammadiyah telah
tersebar dari Aceh sampai Irian Jaya, dalam sejarahnyayang panjang tidak pernah
menjadi partai politik dan insayaallah selama-lamanya tidak akan menjadi partai
politik. Walaupun demikian bukan berarti Muhammadiyah buta akan politik,
Muhammadiyah selalu berpartisipasi dan selalu memeberikan sumbangan pikiran
untuk kepentingan negara dan bangsa. Muhammadiyah beramar makruf nahi munkar
dengan cara – cara yang penuh hikmah dan bijaksana serta selalu menurut saluran
konstitusional.
Demi kelangsungan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern di masa
depan, maka usaha kaderisasi dalam Muhammaddiyah menjadi tuntutan mutlak yang
merupakan keniscayaan yang harus dilakukan secara tersistem dan terlembaga
dengan kokoh, sehingga mampu menyiapkan dan menghasilakan kader muslim
Muhammadiyah yang menjadi pelaku kehidupan di berbagai lapangan dalam menghadapi
era globalisasi.
Jika selama ini Muhammadiyah menggunakan
pendekatan purifikasi, maka Muhammadiyah mencoba membangun paradigma baru dalam
hal purifikasi yaitu metode baru yang jauh toleran dengan memanfaatkan kultur
lokal. Metode ini disebut dengan metode dakwah kultural yang lebih memahami
kondisi sosiologis dan antropologis suatu masyarakat.
[1]
Amien Rais, Syafi’i Ma’arif, dkk, Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah
( Alamanak Muhammadiyah tahun 1997 M / 1417 – 1418 H ), ( Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Offset, 1996 ), hlm. 16.
[2]
Ibid, hlm. 17.
[3]
Ibid, hlm. 17.
[4]
Ibid, hlm. 18.
[5]
Ibid, hlm. 19.
[6]
http://www.muhammadiyah.or.id/id/17-content-188-det-profil-muhammadiyah-.html
[7]
Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah : Pengaruhnyan dalam Gerakan
Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20, ( Jakarta : INIS, 2002
), hlm. 86.
[8]
Mu’arif, Meruwat Muhammadiyah : Kritik Seabad Gerakan Pembaharuan Islam di
Indonesia, ( Yogyakarta : Pilar Religia, 2005 ), hlm. 41-42.
[9]
Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (
Bandung : Mizan, 1993 ), hlm. 222 - 223
[10]
Siti Chamamah Soeratno, et. al, Muhammadiyah sebagai Gerakan Seni dan Budaya :
Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009
). hlm. 54 – 55.
[11]
Asep Gunawan, Artikulasi Islam Kultural :
Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, ( Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2004 ), hlm. xxxiv.
[12]
Siti Chamamah Soeratno, et. al, Muhammadiyah sebagai Gerakan Seni dan Budaya :
Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009
). hlm. 53.
[13]
Ibid, hlm. 61-62.
[14]
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam
Perspektif Perubahan Sosial, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1990 ), hlm. 189.
[15]
Lihat Skripsi Rosihan Anwar ,“ Dakwah
Seluler Muhammadiyah dalam Menghadapi Era Globalisasi”, ( Perpustakaan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
[16]
Amien Rais, Syafi’i Ma’arif, dkk, Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah
( Alamanak Muhammadiyah tahun 1997 M / 1417 – 1418 H ), ( Yogyakarta :
Pustaka Pelajar Offset, 1996 ), hlm. 71-73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar